Senin, 09 Februari 2015

Wisata Sriten

embung sriten  NgliparGunungkidulonline.com-Embung Sriten terletak di Desa Sriten, desa paling ujung Utara perbatasan langsung dengan Desa Mertelu di Kecamatan Gedangsari.
Embung Sriten merupakan sejenis embung yang terdapat di pucuuuuuuuk bukit. Yang menjadi ciri khas dari embung ini adalah, para penikmat alam dapat secara langsung melihat pemandangan Desa Mertelu dari atas bukit, pemandangan kota Nglipar dari atas, dan pemandangan Kota Klaten yang pada waktu malam hari merupakan tempat yang pas dan syahdu untuk saling bercengkerama dengan teman – teman.
pemandangan dari embung sriten  
Selain itu, di puncak bukit akan disuguhkan pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang kelihatan dari kejauhan. Sehingga para penikmat alam akan berlama lama berselfie ria atau cek status dan kemudian upload foto di Facebook atau sosial media lain.
Keberadaan embung Sriten merupakan suatu wisata alternatif bagi para penikmat alam yang akan selalu haus untuk menikmati alam dan melihat kebesaran Tuhan secara dekat. Ditunggu kedatangannya disana Sedulur kabeh.

Jumat, 30 Januari 2015





Beberapa kartun kesayangan, numpang ngepost ya .. wkwk :D

Tugas



 Ini tugas photoshop ku waktu kelas satu dulu..heheh :)

Sejarah SMK Yappi Wonosari

Sejarah SMK YAPPI Gunungkidul SMK YAPPI Gunungkidul merupakan salah satu smk yang berlandaskan pada ajaran islam yang sesuai dengan ajaran ahlussunnah waljama’ah dibawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdhatul Ulama Provinsi DI Yogyakarta. Saat ini SMK YAPPI Gunungkidul telah dikenal dimasyarakat luas sebagai sekolah yang islami (madrasatul islamiyah). SMK YAPPI Gunungkidul didirikan pada tahun 1982 berdasarkan SK Kakanwil DEPDIKBUD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, No.NDS : D4204030003, NSS : 324040301003. Kegiatan belajar mengajar SMK YAPPI Gunungkidul semula bertempat di komplek SMU Pembangunan Gunungkidul sampai dengan tahun 1992. Mulai tahun 1992 SMK YAPPI Gunungkidul telah memiliki gedung sendiri dengan alamat Bansari, Kepek, Wonosari, Gunungkidul. Berdasasrkan SK Akreditasi Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No : 35/C.C7/Kep/MN/1998. Tanggal 10 Maret 1998 status SMK YAPPI Gunungkidul berubah dari DIAKUI menjadi DISAMAKAN. Dari tahun 1982 sampai dengan 1998 mempunyai Jurusan Listrik dengan jumlah kelas 18 (6 paralel). Tahun 1999/2000 membuka jurusan baru yaitu Mekanik Otomotif dengan mengurangi 2 kelas listrik, sehingga Jurusan Listrik mempunyai 4 kelas dan Mekanik Otomotif 2 kelas. Tahun pelajaran baru 2003/2004 SMK YAPPI Gunungkidul menambah 2 kelas Jurusan Mekanik Otomotif sehingga menjadi 4 kelas. Dalam perkembangan berikutnya, yaitu tahun 2001 dibuka jurusan Teknik Informatika dengan memecah 1 kelas Listrik. Pada tahun 1999 SMK YAPPI Gunungkidul menjadi sekolah model swasta di kabupaten Gunungkidul dan mendapatkan bantuan ruang bengkel dan alat-alat untuk jurusan listrik dari Pemerintah Austria senilai Rp 1.500.000.000 (1,5 M). SMK YAPPI Gunungkidul memiliki tujuan menghasilkan tenaga kerja yang profesional dibidangnya, bertaqwa dan mampu bersaing ditingkat nasional, sehingga diharapkan para lulusan memiliki ketrampilan dan kemampuan intelektual yang tinggi, sehingga mampu menjawab tantangan perkembangan teknologi sekarang ini. Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, telah dibuka 3 (tiga)program keahlian yaitu : 1. Teknik Instalasi Listrik (Terakreditasi B) 2. Teknik Mekanik Otomotif (Terakreditas B) 3. Teknik Informatika (Terakreditasi A / SSN)

Selasa, 20 Januari 2015

Quipper School

Quipper School merupakan layanan e-learning gratis yang kami ciptakan demi mempermudah tugas dan menghemat waktu para guru, khususnya dalam hal pemberian tugas / PR / latihan soal, bahkan ujian di kelas kepada siswa.

Kamis, 23 Oktober 2014

Sejarah Keraton Yogyakarta, Keraton Yogyakarta merupakan sebuah keraton yang didirikan oleh Kesultanan Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta sendiri pada awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Mataram yang terpecah menjadi dua: Kesunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Ada beberapa versi menganai sejarah keraton Yogyakarta. Berikut Sejarah Awal Keraton Yogyakarta. Versi 1 Keraton Yogyakarta pada awalnya merupakan sebuah pesanggrahan yang bernama "Pesanggrahan Garjitwati". Ini adalah sebuah tempat pesanggrahan kuno untuk peristirahatan pada saat iring-iringan yang membawa jenazah raja-raja Mataram. Versi 2 Awal mula Keraton Yogyakarta adalah sebuah mata air yang bernama "Umbul Pacethokan" yang terletak di hutan Beringan. Setelah Perjanjian Giyanti 1755, Sultan Hamenku Buwono I yang sebelumnya mendiami Pesanggrahan Ambar Ketawang membangun sebuah keraton di Umbul pacethokan sebagai pusat pemerintahan. Sejarah Awal Keraton (Kerajaan Mataram) Mataram didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan. Tanah kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Pajang pada tahun 1558 Masehi setelah Ki Ajeng Pamanahan berhasil mengalahkan musuhnya yaitu Aryo Penangsang. Sebuah keraton di daerah Kota Gede dibangun pada tahun 1577 oleh Ki Ageng Pamanahan sebagai pusat pemerintahan hingga akhirnya beliau mangkat pada tahun 1584 sebagai pengikut Sultan Pajang. Setelah Ki Ageng wafat, kekuasaan Mataram diteruskan oleh putera dai Ki Ageng Pamanahan yaitu Sutawijaya. Ternyata pengangkatan Sutawijaya sebagai penguasa baru Mataram adalah hal yang sangat fatal karena dia tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang. Sutawijaya berniat menghancurkan Kasultanan Pajang untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Akhirnya Sultan Pajang mengetahui niat tersebut dan memutuskan menyerang Mataram pada tahun 1587. Namun tak dapat disangka, pasukan Sultan Pajang yang berupaya menyerang Mataram ini terkena dampak letusan Gunung Merapi yang begitu besar pada saat itu, dan akhirnya menghancurkan seluruh pasukan Kesultanan Pajang. Berkat kejadian yang tidak diduga tersebut Sutawijaya & pasukan Mataram dapat selamat. Satu tahun setelahnya, Mataram menjadi sebuah kerajaan & Sutawijaya menasbihkan dirinya sebagai Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati, Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama yang berarti Panglima Perang & Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Mulai saat itu Kerajaan Mataram berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan yang besar & menjadi penguasa Pulau Jawa yang besar dan disegani. Setelah mangkatnya Panembahan Senopati pada tahun 1601 Raja Mataram selanjutnya digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang dikenal juga dengan gelar Panembahan Seda ing Krapyak. Setelah wafatnya pada tahun 1613, Mas Jolang digantikan lagi oleh anaknya yaitu Pangeran Arya Martapura & dilanjutkan oleh kakaknya yakni Raden Mas Rangsang yang juga lebih dikenal sebagai Prabu Pandita Hanyakrakusuma, dan bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman. Pada masa Kekuasaan Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung inilah kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaannya & berkembang dengan sangat pesat disegala bidang. Kerajaan Mataram semakin kuat dan makmur sampai akhirnya Sultan Agung dan digantikan oleh puteranya yaitu Amangkurat I pada tahun 1645. Sejarah Keraton Yogyakarta Berawal Dari Perjanjian Giyanti Masa kejayaan Kerajaan Mataram akhirnya mengalami kemunduran. Kejadian-kejadian yang berbau konflik perebutan kekuasaan dari dalam maupun luar istana akhirnya meruntuhkan Kerajaan Mataram. Hal ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh VOC pada masa penjajahan Belanda. Perebutan kekuasaan di Kerajaan Mataram ini berkahir dengan adanya Perjanjian Giyanti pada bulan Februari di tahun 1755. Pada Perjanjian Giyanti ini memutuskan untuk membagi kekuasan Kerajaan Mataram menjadi 2 yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dan dalam perjanjian itu juga menetapkan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan di Kasultanan Yohyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kira-kira satu bulan setelah terjadinya Perjanjian Giyanti tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang pada saat itu tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang mendirikan sebuah keraton di pusat kota Yogyakarta yang kita lihat sekarang ini sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Sejarah Keraton Yogyakarta Dari Sisi Filosofi Dan Mitologi Sejarah Keraton Yogyakarta yang panjang itu tentu saja membuat Keraton Yogyakarta tidak dibangun dengan begitu saja. Banyak sekali nilai-nilai folosofis yang ditanam dalam pembangunan Keraton Yogyakarta ini. Arsitektur Keraton Yogyakarta sendiri adalah Sri sultan Hamengku Buwono I yang merupakanseorang arsitek yang sangat hebat pada masanya. Beliau tidak begitu saja merancang bentuk bangunan keraton, namun beliau benar-benar memikirkan dan menerapkan juga berbagai nilai kehidupan dalan arsitektur bangunan maupun letak keraton. Secara umum Keraton Yogyakarta sendiri dibangun dengan sangat strategis di antara 2 sungai besar yaitu Sungai Code di timur dan sungai Winongo di Barat. Selain itu juga terlatak dalam satu garis lurus antara Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan yang tentu saja hal tersebut memiliki makna folosofis yang sangat dalam. Masih banyak sekali nilai-nilai filosofis kehidupan yang terdapat pada arsitektur Keraton Yogyakarta mulai dari interior dan eksterior. Hal inilah yang membuat Sejarah Keraton Yogyakarta (Keraton Jogja) sangat menarik dan membuat Keraton Yogyakarta juga sebagai warisan budaya yang sangat bernilai di mata dunia.

Asal Mula Gunungkidul

Asal mula Gunung Kidul terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Kala itu yang menjadi raja adalah Sultan Hamengku Buwono I. Pada waktu pemerintahannya, daerah sepanjang pesisir Laut Selatan masuk ke dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun, pada waktu itu namanya bukan Gunung Kidul, tetapi Sumengkar. Karena wilayahnya sangat luas, daerah Sumengkar dipimpin oleh seorang adipati. Oleh karena itu, disebut daerah Sumengkar. Lalu mengapa Kadipaten Sumengkar kemudian berganti nama menjadi Kadipaten Gunung Kidul? Ceritanya sebagai berikut: Pada suatu hari, di Kadipaten Sumengkar sedang diadakan sebuah pertemuan yang sangat penting. Pertemuan itu dipimpin oleh Adipati Sumengkar sendiri, yaitu Adipati Wironegoro. Saat itu, Sang Adipati dihadapkan oleh orang-orang kepercayaannya, seperti Patih Panitipraja, Rangga Puspowilogo, Panji Semanu Harjodipuro, dan para punggawa Kadipaten Sumengkar lainnya. Namun, sampai sekian lama para punggawa itu menunggu, Adipati Wironegoro belum juga memulai pertemuan. “Gusti Adipati, kami semua menunggu perintah. Masih adakah hal yang mengganggu sehingga pertemuan ini tidak segera dimulai?” tanya Patih Panitipraja memberanikan diri. “Benar, Patih. Aku masih menunggu Demang Piyaman Wonopawiro. Tidak biasanya dia datang terlambat,” jawab Adipati Wironegoro. “Ah, apakah perlunya kita menunggu dia. Tanpa dia pun Kadipaten Sumengkar tetap akan berjalan, Gusti,” sambung Rangga Puspowilogo tidak senang. “Aku mengerti maksudmu, Puspowilogo. Tetapi pertemuan ini penting sekali. Aku ingin semua punggawa Kadipaten mendengar sendiri titah Kanjeng Sultan Yogykarta Hadininingrat,” ujar Adipati bijaksana. Rangga Puspowilogo yang mendengar jawaban junjungannya itu tampak tidak senang. Namun, tidak berani membantah lagi. “Baiklah, kita tunggu sebentar lagi saja Demang Piyaman. Kalau tidak datang, kita tinggalkan saja dia,” lanjut Adipati mengambil jalan tengah. Akhirnya, setelah ditunggu beberapa saat Demang Piyaman tidak kunjung datang, pertemuan di Kadipaten Sumengkar itu pun dimulai. Adipati Wironegoro segera menyampaikan titah Sultan Hamengku Buwono kepada segenap punggawa yang hadir. Isi pokok dari titah Sultan Yogyakarta itu adalah agar ibu kota Kadipaten Sumengkar dipindahkan ke hutan doyong. Alasan perpindahan ibu kota itu atas dasar petunjuk yang diterima Kanjeng Sultan ketika sedang meditasi di masjid. Jika sampai ibu kota Kadipaten Sumengkar tidak dipindahkan, maka akan menyebabkan bencana. Bukan hanya Kadipaten Sumengkar sendiri yang mengalami bencana, melainkan Kesultanan Yogyakarta keseluruhan. Mengingat ancaman malapetaka yang bakal menimpa itulah, Kanjeng Sultan Yogyakarta memerintahkan Adipati Wironegoro untuk secepat mungkin melaksanakan peritahnya. “Nah, perintah Kanjeng Sultan cukup jelas. Sekarang siapa di antara kalian yang akan berangkat melaksanakan tugas negara ini, membabat alas doyong?” tanya Adipati Wironegoro. Segenap yang hadir hanya bisa terdiam mendengar perintah itu. Mereka semua perlu bertanya lagi, apa artinya membabat hutan nangka doyong. Jangankan membabat, baru mengusik saja resikonya adalah mati. “Bagaimana dengan dirimu, Rangga Puspowilogo. Kamu adalah benteng dan panglima perang Kadipaten Sumengkar?” tanya Adipati Wironegoro sambil menatap tajam Rangga Puspowilogo. Wajah Rangga Puspowilogo pucat, lalu katanya,” Ampun beribu ampun, Gusti Adipati. Bukan niat hamba untuk menolak titah Gusti Adipati, tapi hamba benar-benar tidak mau mati sia-sia di tangan para jin penunggu hutan nangka doyong.” Mendengar jawaban punggawanya itu, Adipati Wironegoro tampak tidak senang dan menahan marah. “Meski begitu, hamba ada usul, Gusti. Biarlah Demang Piyaman Wonopawiro yang menjalankan tugas itu. Semua ini adalah bentuk hukuman pada dia, Gusti …!” “Tutup mulutmu Puspowilogo. Engkau sendiri tidak sanggup mengemban tugas. Jangan melemparkan tanggung jawabmu pada orang lain,” sahut Adipati bertambah murka. Segenap yang hadir jadi terdiam. Mereka menyalahkan Rangga Puspowilogo yang berkata sembarangan. Sementara Adipati Wironegoro bertambah murka, di samping karena sikap Puspowilogo juga karena mengingat betapa besar dosa Kanjeng Sultan jika sampai gagal menjalankan tugas. Tidak mengherankan jika suasana pertemuan itu tampak menjadi hening. Semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing. “Baik. Kalau tidak ada punggawa Kadipaten Sumengkar yang pemberani, aku sendiri yang akan menunaikan tugas!” kata Adipati Wironegoro geram. “Jangan ….. Jangan, Gusti. Biarlah hamba yang akan menjalankan tugas negara ini! Kata seseorang yang baru masuk dan menyembah dengan hormat. Dia adalah Demang Piyaman Wonopawiro. “Demang …! Benarkah engkau sanggup membabat hutan nangka doyong itu …,” seru sang Adipati dan seakan tidak percaya. “Benar, Gusti Adipati. Biarlah hamba yang akan menjalankan tugas negara itu …” “Kamu tidak takut mati?” “Untuk negara, hamba rela mengorbankan jiwa dan raga, Gusti,” jawab Demang Wonopawiro. Adipati Wironegoro sangat berkenan dengan jawaban Demang yang masih muda namun pemberani itu. Sang Adipati pun berjanji, jika Demang Piyaman itu berhasil menjalankan tugas negara, maka anugerah yang besar akan diberikan kepadanya. “Ampun, Gusti Adipati. Bukan hadiah yang hamba harapkan, namun hamba memang ingin menjalankan tugas negara”, lanjut Demang yang rendah hati itu. “Baik. Apapun alasanmu, aku sangat menghargainya. Nah, sekarang persiapkan segala sesuatunya dan berangkatlah. Doaku menyertaimu,” kata Adipati lagi. Akhirnya, Demang Wonopawiro berangkat menjalankan tugas. Sebelum memasuki kawasan hutan nangka doyong yang angker, Demang Wonopawiro mengkhususkan diri untuk singgah di kediaman Ki Nitisari, saudaranya, yang tahu banyak tentang hutan nangka doyong. “Dimas, bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk membabat hutan nangka doyong. Salah sedikit nyawa sebagai taruhannya,” kata Ki Nitisari mengingatkan saudaranya. “Lalu apa yang harus saya lakukan, Kang Mas?” “Nanti tepat tengah malam, aku akan menyertai dimas untuk bertemu dengan penguasa hutan nangka doyong,” jawab Ki Nitisari. Tepat tengah malam, dua bersaudara itu nekat menerobos tengah malam dan angkernya hutan nangka doyong. Keduanya terus melangkah tak memedulikan banyaknya godaan dan serangan para jin di sepanjang jalan. Akhirnya, setelah sampai di tengah belantara keduanya segera bertapa di bawah pohon nangka tua yang sudah hampir roboh (doyong). Empat puluh hari empat puluh malam keduanya bertapa, memohon petunjuk dan pertolongan kepada Yang Mahakuasa. Selama itu pula, keduanya tabah menghadapi serangkaian teror dari para jin penghuni rimba. Namun, akhirnya para jin penghuni rimba itu harus lari terbirit-birit tak kuasa menghadapi kesaktian kedua punggawa Kadipaten Sumengkar. Kemudian muncullah Nyai Gadung Melati sebagai utusan resmi Ratu Laut Kidul menemui keduanya. Melalui utusannya itu, penguasa Laut Kidul dan yang berkuasa pula atas hutan nangka doyong merelakan hutan di bawah kekuasaannya itu dijadikan daerah kadipaten menggantikan Kadipaten Sumengkar. Namun, penguasa semua bangsa jin di Laut Kidul itu mengingatkan agar dalam membabat hutan tidak berlaku sembarangan dan kelak nama daerah yang baru itu hendaknya memakai nama “Kidul”. Sejak itulah hutan nangka doyong yang telah menjadi daerah baru kemudian dinamakan Gunung Kidul oleh Sri Sultan Hamengku Buwono. Nama itu bertahan sampai sekarang. *** Sumber: Mei Sulistyaningsih, 2007, Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Tengah, Surakarta: Suara Media Sejahtera

;;

By :
Free Blog Templates